Tuesday, May 25, 2010

Bagaimana beristiqamah dengan Al quran ?


Menyingkap kembali ada satu article yang ana terbaca, didalamnya ada sebuah hadis yang berbunyi: rasulullah saw bersabda, Bermu’ahadahlah (pertahankanlah dirimu) bersama Al Quran ini, demi jiwa Muhammad yang ada di tangan-Nya, sesungguhnya Al Quran ini lebih cepat hilangnya, daripada cepatnya ikatan tali unta yang terlepas. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim.

Bilamana ana terbaca hadis ni, ana mula berfikir, berapa lama aku akan mempertahankan kebersamaan dengan Al Quran ini, sebulan, dua bulan, setahun, dua tahun atau pun sepanjang hidup. Begitulah wahai sahabat jika kita ingin mempertahankan Al quran ini sebulan dua setahun dua, makan selama itulah Al quran akan bersama kita. Sekiranya kita bersemangat mempertahankan Al Quran sepanjang hayat kita, maka sepanjang itulah Al quran akan bersama dengan kita.

Wahai sahabat, mujahadah itu pahit, kerana syurga itu manis, kata kata inilah yang menjadi pembakar semangat untuk kita terus kekal istiqamah bersama Al Quran. Dan kesiapan diri kira untuk bertekad akan terus hidup bersama Al Quran sepanjang hayat di sebut sebagai Mu’ahadah.

Mu’ahadah artinya tekad yang kuat utuk selalu melaksanakn suatu pekerjaan, sampai mendapatkan apa yang diinginkan. Mu’ahadah asalnya untuk orang yang menghafal Al Quran, agar siap untuk mempertahankan hafalannya sepanjang hidupnya. Jangan sampai menjadi penghafal yang hanya mampu mengatakan. “Dahulu saya pernah hafal”. Namun secara keseluruhannya sabda rasulullah dalam hadis di atas, pada hakikatnya berlaku untuk seluruh amal ibadah kepada Allah, tanpa Mu’ahadah dalam diri, tidak mungkin sesorang mencapai istiqomah dalam setiap amal yang dilakukannya. Tanpa istiqomah tidak mungkin seseorang mendapat husnul khotimah yang menjadi dambaan setiap orang yang beriman

Dari abu amr sufyan bin abdillah ats tsaqafi ra. Berkata “ wahai rasulullah, katakanlah kepadaku suatu perkataan tentang islam, yang tidak mungkin aku tanyakan kepada siapa pun selain kepada kepada-mu.” Rasulullah saw bersabda “katakanlah: aku beriman kepada Allah,” lalu istiqamahlah. (HR Muslim)

Dalam hadis di atas, dapat kita hayati, bagaimana rasulullah saw memberi pesan kepada seorang sahabat, supaya beriman kepada Allah dan beristiqomah dengannya. Justeru menjadi satu kewajipan bagi diri kita untuk terus beristiqomah dengan kitab Allah ini. (Al quran)

Wahai sahabat, sebagai pelajar yang bergelar mahasiswa(i), modal Mu’ahada inilah yang harus kita miliki, agar kita tidah mudah menyerah ketika menghadapi berbagai macam rintangan semasa proses pembelajaran. Kedua-dua hadis di atas memberi suatu isyarat kepada kita bahawa dalam usaha kita untuk mu’ahadah dan istiqomah untuk mempelajari dan menghafal Al Quran, kita akan menempuh pelbagai ujian dan rintangan.

Mari kita perhatikan bagaimana kehidupan para salafus soleh didalam bermu’ahadah dengan Al Quran. Kita lihat bagaimana sayyidina Umar Al khattab ra dan sayyidina Utsman bin Affan adalah dua orang sahabat Rasulullah yang ketika ajalnya menjemput, mereka sedang bertilawah Al Quran. Sahabat yang lain Abdullah bin Amr bin ‘Aash, ketika Rasulullah saw. menyuruhnya untuk membaca Al Qur’an sebulan sekali khatam, maka ia merasa, bahwa masa itu terlalu lama, sehingga ia merasa akan sangat sedikit bacaan Al Qur’annya dalam setiap bulan, atau sama dengan sehari satu juz. Maka ia meminta izin kepada Rasulullah saw agar dapat membacanya tiga hari khatam, yang berarti sehari 10 juz, Rasulullah saw pun mengizinkannya, dan akhirnya tekad ini, beliau laksanakan sampai akhir hayatnya. Tidak mahukah kita menjadi seperti mereka?

Lihatlah, bagaimana seharusnya kita mempunyai tekad dalam berinteraksi dengan Al Qur’an. Ini menunjukkan bahawa Mu’ahadah adalah suatu keharusan dalam kehidupan manusia. Seandainya ibu kita tidak bersikap mu’ahadah dalam mendidik mengasuh dan menjaga serta merawat kita, mungkin kita tidak dapat tumbuh seperti saat ini. Jadi apa yang ada dalam diri kita tidak terlepas dari sikap mu’ahadah, yang memberikan dampak yang jelas dari suatu kerja keras yang berlangsung bertahun tahun.

Wahai sahabat, sekarang cuba kita bayangkan apabila sikap mu’ahadah ini kita implemenkan dalam interaksi kita dengan Al Quran, maka setidaknya kita akan merasakan berbagai macam dampak positif dalam diri kita. Kita akan ada dampak keilmuan, yang berarti semakin lama kita bersama Al Qur’an, semakin meningkat pengetahuan kita. Kita akan ada dampak peningkatan ruhiyyah, perolehan pahala yang sangat banyak dan puncaknya adalah Syurga Allah, sesuai dengan hadis yang dijelaskan oleh Rasulullah saw.

Renungilah bahawa perumpamaan Rasulullah saw dalam hadis di atas, sungguh merupakan perumpamaan yang sangat tepat dengan realita kehidupan. Bagi mahasiswa(i), hafalan yang paling cepat hilang dari ingatan kita adalah hafalan Al quran. Jika dibandingkan dengan lirik-lirik lagu atau nasyid, lebih mudah diingat, tanpa diulang-ulangpun tidak akan luput dari ingatan kita. Tidak ada kegiatan yang paling cepat hilang semangat belajarnya, daripada belajar Al Qur’an, jika hendak dibandingkan dengan aktiviti pembelajaran yang lain.

Mengakhiri kalam, ana berpesan kepada diri ana dan sahabat- sahabat sekalian bermu’ahadahlah. Persiapkan diri kita, dapatkan mental yang kental, berdoa terus menerus, tawadhu’ kepada Allah, kerana dengan hanya pertolongan dari NYA kita dapat beristiqomah dengan Al Quran, kitab suci NYA. Wallhua’lam.

Penulis:IbnuZAR

Tuesday, May 18, 2010

Status kefahaman kita terhadap ISLAM....

Pelik bukan, mendengarkan tajuk artikel ini. Benar, Abu Jahal dan Abu Sufyan (ketika Abu Sufyan belum menerima Islam) mungkin saja memahami Islam lebih daripada kita ini yang telah bershahadah dan mengaku diri ini sebagai Islam. Pelik bukan, bagaimana dua orang tokoh penentang Islam boleh saja memahami Islam ini dalam konteks untuk menerimanya. Sehingga mereka menjadi penentang yang amat tegar dan penzalim terhadap ummat Islam yang terawal.

Dengan ini saya ingin bawakan dua buah kisah yang amat menarik.Yang mungkin sekali membuktikan betapa mereka ini memahami Islam itu. Biarlah saya bermula dengan kisah Abu Jahal. Abu Jahal nama sebenarnya adalah Amr Ibn Hisyam. Dia merupakan pemimpin arab jahiliyah yang terkenal. Digelar Abu Jahal tidaklah bermaksud dia tidak mengetahui tetapi dia mengetahui dakwah Rasul itu, memahaminya, tetapi menentang dengan cukup tegar sekali. Dia juga digelar sebagai Abul Hakam. Dimana gelaran ini membawa maksud seorang yang memiliki kebijaksanaan (father of wisdom). Jadi bagaimana kita nak katakan yang seorang yang digelar sebagai father of wisdom ini tidak memahami dua kalimat arab yang mempunyai makna tiada ilah selain Allah dan Muhammad itu Rasullullah. Abu Jahal merupakan seorang arab bahkan digelar dengan gelaran Abu Hakam, makanya dia ini pastinya seorang yang arif dalam hal-hal bahasa sebagaimana seorang hakim memahami bahasa perundangan. Tetapi kenapa tetap juga ditolak Islam itu mentah-mentah bahkan menentang dengan penuh tegar dan dahsyat?

Diceritakan suatu ketika Ar-Rasul berdakwah kepada kaum kerabatnya dengan mengajak kepada tiada ilah selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah, maka berdiri dengan lantangnya Abu Jahal ini dengan berkata,

”Jika itu kau bawakan kepada kami wahai Muhammad, maka kau telah melancarkan perang terhadap seluruh jazirah Arab tidak kira dengan orang arab atau bukan arab”.

Lihat saudaraku, seiman denganku, kenapakah kalimah yang kita lihat sebagai kalimah yang mudah ini boleh menyebabkan orang seperti Abu Jahal itu memerangi Muhammad SAW. KENAPA KALIMAH YANG SERINGKALI KITA SEBUTKAN DAN LAFAZ SETIAP HARI SEPERTI TIADA APA-APA INI DI FAHAMI OLEH ABU JAHAL SEHINGGA DIA MENENTANG DENGAN PENUH TEGAR? Maka tidakkah kita terfikir APAKAH MAKSUD SHAHADAH ITU SATU PERSATU. Dari makna kesaksian kepada maksud ilah kepada mengenal siapa itu Allah sehingga kepada mengakui dan mengenal apa itu Rasul dan siapakah Muhammad itu sebagai Rasul sebagaimana difahami oleh Abu Jahal?

Kini saya bawakan kepada kisah Abu Sufyan pula. Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa Abu Sufyan bin Harb bercerita kepadanya, bahwa Heraclius ( Herclius, Raja Rumawi Timur yang memerintah tahun 610 – 630 M) mengirim surat kepada Abu Sufyan menyuruh ia datang ke Syam bersama kafilah saudagar Quraisy (Quraisy, nama suku bangsawan tinggi di negara Mekkah). Waktu itu Rasullah saw, sedang dalam perjanjian damai dengan Abu Sufyan dan dengan orang-orang kafir Quraisy (Perjanjian damai, yaitu Perjanjian Hudaibiyah yang dibuat tahun 6 H). Mereka datang menghadap Heraclius di Ilia (Ilia, yaitu Baitul Maqdis (Jerusaalem)) terus masuk ke dalam majlisnya, dihadap oleh pembesar-pembesar Rumawi. Kemudian Heraclius Memanggil orang-orang Quraisy itu beserta Jurubahasanya.

Heraclius: “Apakah yang diperintahkannya kepada kamu sekalian?”

Abu Sufyan: “Dia menyuruh kami menyembah Allah semata-mata, dan jangan mempersekutukan-Nya. Tinggalkan apa yang diajarkan nenek moyangmu! Disuruhnya kami menegakan Shalat, berlaku jujur, sopan (teguh hati) dan mempererat persaudaraan”.

Lihat, Abu Sufyan memahami apa yang dibawa Ar Rasul, yakni shahadah itu. Tetapi kenapa ketika itu dia tidak mahu terima Islam. Apa yang ada sebenarnya dalam kalimat yang kita lihat sebagai mudah itu sehingga Abu Jahal memeranginya dan Kaisar Romawi begitu ingin tahu terhadapnya? Apa yang ada pada kalimat itu sehingga kedua tokoh arab itu memahaminya dan menolaknya sedangkan ada yang menerimanya dengan hati terbuka seperti Abu Bakar As Siddiq dan ada yang menerimanya setelah memahaminya walaupun sebelumnya berniat membunuh Ar Rasul seperti Umar Ibn Khattab?

Kalimah shahadah itu merupakan perjanjian yang teguh antara seorang insan dengan penciptanya tanpa perantaraan manusia. Tanpa paderi yang menjadi perantara. Hubungan terus antara manusia dengan Allah dimana kita menerima Allah itu sebagai ilah dan Muhammad itu sebagai Rasul Nya. Apakah ilah itu sehingga kita sebutkan ilah itu sebagai Tuhan? ilah itu adalah:

Yang diharapkan
Yang ditakuti
Yang diikuti
Yang dicintai

Dimana sifat itu difahami dengan sebetulnya. Masalahnya kini kita telah mencipta banyak ilah lain selain Allah secara kita tidak sedar. Saya sebagai remaja ingin memberi contoh, kita punya kekasih hati (orang sarawak panggil gerek) dan kita harapkan dia, kita sayangkan dia sepenuh hati, kita ikut kehendaknya, kita takut kalau dia merajuk atau sedih dan kita cintai dia sepenuh hati kita. Bukankah itu kita telah menciptakan ilah yang lain?!! Benar, kita senang katakan yang kita mencintai Allah lebih dari segalanya. Lebih dari kekasih kita itu. Tetapi adakah iman itu hanya dibuktikan dengan kata-kata kosong sedangkan perlakuan kita tidak menunjukkan dan membuktikan apa yang kita ucapkan bahkan berlawanan dengan apa yang kita katakan cinta kita sepenuhnya kepada Allah??? Dimana sebenarnya kita letakkan Allah itu sebagai ilah dan lebih lagi dimana kita letakkan pengertian kita bershahadah? Bahkan dalam konteks remaja yang berkasihan dengan lawan sejenisnya itu melakukan maksiat kepada Allah dalam dia berkata dia mencintai Allah lebih dari segalanya.. itu sesuatu yang sangat keji dan menyedihkan. Mungkin dalam konteks sebagai dewasa, sebagai perkerja, pembaca mungkin boleh berfikir sendiri betapa kita telah mencipta sembahan dan ilah selain Allah. Dimanakah nilai kita ini sebagai seorang yang bershahadah? Adakah kita bershahadah dengan bermain-main? Ataupun kita anggap shahadah itu sebagai kata-kata kosong yang tidak ada harga dan isinya??

Lihat saudara ku, betapa sehingga Abu Jahal itu menentang Islam kerana dia tahu bilamana dia menerima Allah itu sebagai satu-satunya ilah dia perlu dan wajib menolak ilah lain yang telah dia ciptakan seperti kekuasan, kekayaan dan darjat. Bilamana dia memahami maksud ilah itu, dia menentang Islam bahkan melancarkan perang terhadap Islam. Sesungguhnya abu jahal ini benar-benar memahami shahadah itu dan memahami maksud ilah..

Adakah kita faham Islam itu sebagaimana Abu Jahal memahaminya.. atau lebih teruk lagi??

“Dan diantara manusia ada yang menyembah selain Allah sebagai tandingan yang mereka cintai seperti mencintai Allah.adapun orang-orang beriman amat besar cintanya kepada Allah.” (2:165)

petikan dari halaqah online

karangan:cetusanminda.

Pemuda Acuan Al-Quran

Pemuda acuan al-Quran

Basah lidahnya mengingat Tuhan

Tunduk pandangannya penuh kesederhaan

Pemuda acuan al-Quran

Lembut tuturnya dalam ketakwaan

Quran & Sunnah jadi panduan

Akhlak Rasulullah jadi ikutan

Pemuda acuan al-Quran

Hidup matinya kerana tuhan

Hidup matinya kerana tuhan

Dialah pemuda acuan Al Quran

Jadi teladan sepanjang zaman

Jadi teman di perjalanan